Senin, 04 Februari 2013

sapu leger

WAYANG SAPU LEGER

Wayang Sapu Leger adalah salah satu wayang dari tiga macam wayang yang disakralkan di Bali. Tiga wayang dimaksud adalah Wayang Sapu Leger, Wayang Suddhamala dan Wayang Lemah. Ketiga wayang itu mempunyai persamaan fungsi yaitu : “ngruat”. Diantaranya wayang Sapu-Leger lah yang paling angker dan paling berat, baik bagi Ki Dalang maupun bagi yang berkepentingan, sedang fungsinya khusus untuk ngruwat kelahiran (manusa yadnya), yaitu marisuddha (ngruwat) orang yang dilahirkan pada wuku wayang. Wayang Suddhamala dan wayang Lemah itu mempunyai fungsi lebih umum, yaitu manusa yadnya, pitra yadnya, dewa yadnya, buta yadnya dan resi yadnya.

Garis-garis besar wayang Sapu Leger yang terangker itu adalah :

1). Wayang Sapu-Leger hanya boleh dipergelarkan oleh seorang Dalang yang telah disucikan dan memahami isi lontar Darma Pewayangan dan Lontar Sapu-Leger serta paham akan puja mantra sakralisasi diri dan sajen-sajen dan juga menguasai beberapa Dewastawa yang ada hubungannya dengan pembuatan air suci (pangruatan). Dalang yang berkeadaan demikian bergelar Ki Mangku Dalang atau Sang Empu Leger tatkala ia mempergelarkan wayang Sapu-Leger.

2). Dengan melalui pergelaran Ki Mangku Dalang mengucapkan puja – mantra sakralisasi diri, sajen-sajen dan memanjatkan Dewastawanya untuk mendapatkan restu Dewata, terutama dari Dewa Siwa dalam pembuatan air-suci (pangruatan) bagi orang yang diupacarai karena lahir pada waktu wayang, agar ia terhindar dari gangguan (buruan) Dewa Kala. Mengapa demikian?

Menurut isi lontar Sapu Leger, Dewa Siwa memberi ijin kepada Dewa Kala (anaknya) untuk memakan orang yang dilahirkan pada wuku wayang. Sedang Dewa Kala sendiri memberi anugrah kepada Ki Mangku Dalang untuk mensucikan orang-orang yang dilahirkan pada wuku wayang sehingga mereka tiada menjadi mangsanya (buruannya) lagi. Berdasarkan isi lontar tersebut diataslah umat Hindu Dharma pada umumnya, apabila diantara anak-anaknya ada yang dilahirkan pada wuku wayang, demi keselamatan anaknya itu, ia berusaha mengupacarainya dengan Wayang Sapu-Leger walaupun alat-alat perlengkapan yang harus disiapkan jauh lebih banyak (berat) dari wayang lainnya. 


Kapankah dan dimanakah wayang Sapu-Leger itu dipentaskan , dengan lakon apa ?

Apakah alat-alat dan sajen-sajen yang pokok yang perlu disediakan? Wayang Sapu-Leger dipentaskan pada hari lahir (otonan) anak (orang) yang diupacarai dengan lakon Dewa Kala memburu mangsanya yaitu seseorang yang dilahirkan pada wuku wayang, misalnya Sang Sudha, Rare Kumara.

Untuk praktisnya Sapu-Leger dipentaskan dalam pekarangan orang yang diupacarai. Apabila tempat tidak memungkinkan, pementasan dialihkan kesuatu tempat dekat jalan simpang empat (catur pata).

Mengenai alat-alat perlengkapan dan sajen-sajen yang pokok adalah sebagai berikut :

  1. Gedebong (pohon pisang) tempat memancangkan wayang, harus pisang kayu berikut jantungnya (biu lalung) berbelitkan benang tukelan dan berisi uang 250 kepeng. Demikian pula pada kedua belah ujung perentang kelir (Lelujuh), pada dammar wayang (blencong). Dibelitkan benang tukelan dengan disertai uang masing-masing 250 kepeng.

  1. Dihadapan kelir sebelah udik dipancangkan satu sanggar Tutuan (tempat pemujaan Dewa Surya) disertai peji uduh biu lalung, diberi berbelit benang tukelan beserta uang 250 kepeng. Disitulah dipanjatkan seongkok sajen (suci asorong, ajuman putih kuning).

  1. Dihadapan kelir disajikan seonggok sesajen antara lain sorohan pabangkit asoroh, nasi merah (penek bang), dengan daging ayam wiring dipotong-potong winangun urip, sampaian andongbang dan beberapa tetebasan, terutama tetebasan sapu-leger, sebuah tumpeng yaitu nasi berbentuk kerucut berpancangkan ranting beringin, berisi ayam panggang, beberapa keeping jajan dan sesisir pisang. Tetebasan Tadah Kala, yaitu sebentuk nasi segi tiga beralaskan daun candung dilampir bawahi sepotong kain poleng dan kepala nasi segi tiga itu dilumiri (dipoles) darah babi, lauk urab merah urab putih. Tetebasan lara melaradan yaitu nasi kuning dalam takir, iwak balung dan telur dadar. Daksina penebus baya yaitu Daksina Gede serba delapan (kelapa 8 butir, telur 8 butir, beras 8 kulak (takar), gula aren 8 biji, sarma 8100 kepeng, setandan pisang, segabung sirih berpancangkan sehelai jamur, tuak, arak dan berem.


3). Disebelah Ki Mangku Dalang ngewayang, disajikan sesajen wayang yaitu : suci selengkapnya (asoroh), iwak itik putih, peras ajuman, canang gantal, lenga-wangi burat-wangi, sarma 1700 kepeng. Sebuah Daksina Gede serba empat (sarwa patpat) sarma 1132 kepeng. Untuk pembuatan (pemujaan) air suci disediakan sebuah bejana berisi air bening (payuk anyar berisi air hening) ditopang dengan wanci, air cendana, samsam bija (beras) kuning, alat pedupaan dan bunga 11 macam (warna), bunga tunjung putih sebagai inti (sangat diutamakan). Senyiru segehan Gede lengkap dengan tetabuhan tuak, arak, berem. Sekian alat perlengkapan dan sajen-sajen yang pokok untuk upacara Sapu Leger.


Akhirnya setelah pementasan selesai Ki Mangku Dalang memuja pangruatan (air suci), kemudian menerapkannya (memercikannya) kepada orang yang diupacarai. Apabila anak (orang) laki-laki yang diruat ia didudukkan diatas alat perkakas lelaki, misalnya bajak atau alat-alat pertukangan, kalau wanita ia didudukkan diatas alat-alat perkakas wanita, misalnya alat tenun.

Rabu, 30 Januari 2013

tradisi bambu gila

BAMBU GILA


Mantra, kemenyan, dan tujuh pria kuat bertarung melawan sebatang bambu dengan panjang sekitar 2,5 meter dan berdiameter 8 cm merupakan pemandangan menarik yang bisa Anda nikmati ketika menyaksikan 'bambu gila' di Maluku. Setelah menyaksikan pertunjukan ini, Anda akan merasakan pengalaman supranatural yang mungkin jarang atau belum pernah Anda rasakan sebelumnya. Tarian ini juga dikenal dengan nama Buluh Gila atau Bara Suwen. Pertunjukan ini bisa ditemui di dua desa yaitu Desa Liang, kecamatan Salahatu, dan Desa Mamala, kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah. Di Provinsi Maluku Utara, atraksi yang bernuansa mistis ini dapat dijumpai di beberapa daerah di kota Ternate dan sekitarnya. 
Untuk memulai pertunjukan ini sang pawang membakar kemenyan di dalam tempurung kelapa sambil membaca mantra dalam ‘bahasa tanah’ yang merupakan salah satu bahasa tradisional Maluku. Kemudian asap kemenyan dihembuskan pada batang bambu yang akan digunakan. Jika menggunakan jahe maka itu dikunyah oleh pawang sambil membacakan mantra lalu disemburkan ke bambu. Fungsi kemenyan atau jahe ini untuk memanggil roh para leluhur sehingga memberikan kekuatan mistis kepada bambu tersebut. Roh-roh inilah yang membuat batang bambu seakan-akan menggila atau terguncang-guncang dan semakin lama semakin kencang serta sulit untuk dikendalikan.
Biasanya, dalam berbagai atraksi yang melibatkan hawa mistis, manusialah yang dirasuki oleh roh mistis tetapi dalam tarian ini roh mistis yang dipanggil dialihkan ke dalam bambu. Ketika pawang membacakan mantra berulang-ulang, si pawang lantas berteriak “gila, gila, gila!” Atraksi bambu gila pun dimulai. Alunan musik mulai dimainkan ketika tujuh pria yang memegang bambu mulai merasakan guncangan bambu gila. Bambu terlihat bergerak sendiri ketika pawang menghembuskan asap dan menyemburkan jahe ke batang bambu. Para pria yang memeluk bambu mulai mengeluarkan tenaga mereka untuk mengendalikan kekuatan guncangan bambu. Ketika irama musik mulai dipercepat, bambu bertambah berat dan menari dengan kekuatan yang ada di dalamnya. Atraksi bambu gila berakhir dengan jatuh pingsannya para pemain di arena pertunjukan. Hal yang unik dari pertunjukan ini, kekuatan mistis bambu gila tidak akan hilang begitu saja sebelum diberi makan api melalui kertas yang dibakar.

Bambu yang digunakan merupakan bambu lokal. Namun, proses memilih dan memotong bambu tidak sembarangan, karena dibutuhkan perlakuan khusus. Pawang terlebih dahulu meminta izin dari roh yang menghuni hutan bambu tersebut. Bambu kemudian dipotong dengan melakukan adat tradisional. Bambu dibersihkan dan dicuci dengan minyak kelapa kemudian dihiasi dengan kain pada setiap ujungnya. Dahulu, bambu langsung diambil dari Gunung Gamalama, gunung api di Ternate, Maluku Utara. Saat ini, tarian bambu gila dipelajari dan dimainkan di luar pulau Maluku.
Tradisi tari bambu gila diyakini sudah lama dimulai sebelum masa Islam dan Kristen masuk ke kepulauan ini. Saat ini tari berbau mistis ini hanya dipentaskan di beberapa desa kecil. Melihat tarian ini merupakan pengalaman spiritual yang unik. Lantunan mantra dari pawang dan tabuhan tifa menciptakan pertunjukan yang tidak bisa Anda temukan ditempat lain di dunia. Apalagi jika Anda ikut menari dengan bambu gila, membuat pengalaman ini sulit untuk Anda lupakan.

tradisi ogoh-ogoh

OGOH-OGOH


"Ogoh-Ogoh" merupakan karya seni patung dalam kebudayaan Bali yang menggambarkan kepribadian "Bhuta Kala" dan sudah menjadi ikon ritual yang secara tradisi sangat penting dalam penyambutan Hari Raya Nyepi atau Tahun Baru Saka. Seluruh umat Hindu Dharma akan bersukaria menyambut kehadiran tahun baru itu dengan mengarak-arakan "ogoh-ogoh" yang dibarengi dengan perenungan tentang yang telah terjadi dan sudah dilakukan selama ini. Pada saat "Pangrupukan" atau sehari menjelang Hari Raya Nyepi, peristiwa dan prosesinya setiap tahunnya sama yaitu pada setiap Banjar (pemangku adat setingkat Kelurahan) di Bali akan berlomba dalam hal membuat "ogoh-ogoh" semenarik mungkin. Bila pembuatannya lebih bernilai seni, rumit, dan lebih mutakhir, maka "ogoh-ogoh" itu diharapkan bisa menaikkan martabat Banjar yang membuatnya.

Fungsi utama "ogoh-ogoh" adalah sebagai representasi Bhuta Kala yang dibuat menjelang perayaan Hari Raya Nyepi, dimana "ogoh-ogoh" tersebut akan diarak beramai-ramai keliling banjar atau desa pada senja hari, sehari sebelum Hari Raya Nyepi (Pangrupukan). Menurut para cendekiawan dan praktisi Hindu Dharma, prosesi ini melambangkan keinsyafan diri manusia akan kekuatan alam semesta dan waktu yang maha dashyat. Kekuatan tersebut meliputi kekuatan "Bhuana Agung" (alam raya) dan "Bhuana Alit" (diri manusia). Dalam pandangan filsafat (tattwa), kekuatan tersebut dapat mengantarkan makhluk hidup di alam raya, khususnya manusia dapat menuju kebahagiaan atau kehancuran. Semua itu tergantung pada niat luhur manusia, sebagai makhluk Tuhan yang paling mulia dalam menjaga dirinya sendiri serta seisi dunia. 
Dalam ajaran Hindu Dharma, Bhuta Kala melambangkan kekuatan alam semesta (bhu) dan waktu (kala) yang tak terukur dan tak terbantahkan. Dalam perwujudan patung yang dimaksud, "Bhuta Kala" digambarkan sebagai sosok yang besar menakutkan dan pada umumnya berupa wujud raksasa (rakshasa). Raksasa adalah bangsa pemakan daging manusia atau kadang-kadang sebagai bangsa kanibal dan dilukiskan dalam "Yakshagana", sebuah seni populer dari "Karnataka". Menurut mitologi Hindu dan Budha menyatakan, kata "rakshasa" mempunyai arti "kekejaman", yang merupakan lawan dari kata "raksha" yang artinya "kesentosaan". Namun tidak semua raksasa memiliki kepribadian yang kejam, seperti Wibisana, Hiranyaksa, dan Hiranyakasipu, yang mendapat berkah dari dewa karena mereka memuja Dewa Brahma. Menurut kitab Ramayana menguraikan, bahwa raksasa diciptakan dari kaki Dewa Brahma. Sedangkan menurut kisah lain, mereka berasal dari tokoh Pulastya, Khasa, Nirriti, dan Nirrita.
Dengan keberadaan arak-arakan "Ogoh-Ogoh" yang sudah menjadi tradisi inilah yang menambah daya tarik wisatawan baik mancanegara maupun nusantara. Karena selain memiliki keindahan tempat-tempat wisata, Balipun memiliki kekayaan budaya yang menjadi andalan kepariwisataan. Serasa belum lengkap bilamana wisatawan berkunjung tidak melihat prosesi "Ogoh-Ogoh" pada penyambutan Hari Raya Nyepi atau Tahun Baru Saka.

Senin, 28 Januari 2013

tradisi batak

TRADISI MARTUTU AEK (BATAK)

Martutu aek adalah pembaptisan, pada tradisi Batak kuno, dengan air kepada seorang anak yang baru lahir (sekitar usia tujuh hari) dengan membawanya ke homban (mata air di tengah ladang). Upacara ritual ini dimulai dengan doa yang disampaikan oleh Ulu Punguan kepada Mulajadi na Bolon. Kemudian sang Ulu Punguan membentangkan ulos ragi idup di atas pasir. Lalu Ulu Punguan meneteskan minyak kelapa ke dalam cawan yang telah berisi jeruk purut untuk memastikan bahwa tondi si bayi tersebut berada di dalam badan.

Setelah itu, bayi yang hendak diberi nama dimandikan di mata air. Ulu Punguan lalu uras bayi tersebut degan jeruk purut. Setelah diuras, Ulu Punguan mengoleskan minyak kelapa ke dahi bayi. Lalu, Ulu Punguan mencabut pisau Solam Debata yang dibawanya untuk memberkati bayi tersebut. Dengan memohon menyapukan kunyit ke tubuh bayi dan mengkepada Mulajadi Na Bolon, Ulu Punguan menarikan kain putih agar kain putih tersebut diberkati oleh Mulajadi Na Bolon sebagai pembungkus bayi agar mereka di kemudian hari jauh dari marabahaya.
Sumber lain, Negeri Bakara, mengatakan bahwa bila bayinya laki-laki turut dibawa hujur (tombak) sebagai simbol laki-laki, jika perempuan turut dibawa baliga (perkakas tenun berbentuk seperti sisir) sebagai simbol perempuan. Dan saat Datu menciduk air dan memandikan bayi tersebut, dengan diiringi tangis bayi, diucapkanlah oleh Datu: “sai lam tu toropnama soara ni anak dohot boru tu joloan on“ (semoga makin ramai suara anak dan boru di masa mendatang) maksudnya sebagai pengharapan agar keturunan suku Batak semakin banyak, baik laki-laki dan perempuan.

Bayi kemudian dibawa kembali ke rumah, dilanjutkan dengan acara pemberian nama. Pemberian nama dipertimbangkan dengan cermat, karena Suku Batak meyakini nama dan tondi harus sejalan. Jika mambuat goar ni Ompu atau mengambil nama seperti nama Ompung atau leluhurnya, maka harus mendapat persetujuan dari seluruh keturunan saompu (satu leluhur). Setelah mendapat doa restu keluarga dan sanak saudara, maka syahlah nama anak tersebut, dilanjut makan bersama seluruh keluarga sebagai ungkapan syukur.

Untuk menjaga dan memelihara hubungan antara manusia dengan roh-roh nenek moyang, tiap-tiap individu dalam masyarakat Toba harus melakukan berbagai aturan kepercayaan yang salah satunya adalah martutu aek. Martutu Aek juga diartikan sebagai acara kepercayaan, memperkenalkan bayi pada Mulajadi Nabolon dan meminta agar bayi itu disucikannya. Setelah Kristen masuk ke Tanah Batak, Adat Martutu Aek ini kemudian menjadi sama dengan baptisan Kristen (Tardidi atau Pandidion) yang dilaksanakan di gereja oleh Pendeta dengan memercikkan air kepada si Bayi atau anak.

tradisi megibung

TRADISI MEGIBUNG


Megibung adalah suatu proses atau kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat atau sebagian orang untuk duduk bersama  saling berbagi satu sama lain, terutama dalam hal makanan. Tidak hanya perut kenyang yang didapat dari kegiatan ini namun sembari makan kita dapat bertukar pikiran bahkan bersendagurau satu sama lain.
Megibung bersasal dari kata dasar gibung yang mendapat awalan me-. Gibung berarti kegiatan yang dilakukan oleh banyak orang yaitu saling berbagi antara orang yang satu dengan yang lainnya, sedangkan awalan me- berarti melakukan suatu kegiatan.
Tradisi Megibung merupakan kegiatan yang dimiliki oleh masyarakat Karangasem yang daerahnya terletak di ujung timur Pulau Dewata. Tanpa disadari Megibung menjadi suatu maskot atau ciri khas Kabupaten Karangasem yang ibu kotanya Amlapura ini. Tradisi Megibung sudah ada sejak jaman dahulu kala yang keberadaannya hingga saat ini masih kerap kali kita dapat jumpai. Bahkan sudah menjadi sebuah tradisi bagi Masyarakat Karangasem itu sendiri didalam melakukan suatu kegiatan baik dalam upacara Keagamaan, Adat maupun kegiatan sehari-hari masyarakat apabila sedang bercengkrama maupun berkumpul dengan sanak saudara.

Saat ini kegiatan megibung kerap kali dapat dijumpai pada saat prosesi berlangsungnya Upacara Adat dan Keagamaan di suatu tempat di Karangasem. Seperti misalnya dalam Upacara Dewa Yadnya, Pitra Yadnya, Bhuta Yadnya, Rsi Yadnya dan Manusa Yadnya. Pada kegiatan ini biasanya yang punya acara memberikan undangan kepada kerabat serta sanak saudaranya guna menyaksikan prosesi kegiatan upacara keagamaan tersebut. Sehingga prosesi upacara dapat berlangsung seperti yang diharapkan.
Proses penyembelihan babi pun dilakukan sebagai salah satu menu di dalam mempersiapkan hidangan yang disebut Gibungan ini. Daging babi diolah sedemikian rupa dan di kasi bumbu tertentu sehingga daging yang mentah menjadi menu pelengkap yang menggugah selera seperti sate, lawar, soup (komoh), Gegubah/lempyong, pepesan serta yang lainnya. Menu yang dihidangkan dalam Megibung tidaklah harus daging babi, namun dading ayam, kambing serta daging sapipun tidaklah masalah.
Megibung berlangsung apabila tamu undangan sudah lama bersanda gurau dengan kerabat serta sanak saudara serta setelah selesai membantu tugas-tugas yang dapat dilakukan guna kelangsungan acara tersebut, sebelum para undangan pulang terlebih dahulu di ajaklah untuk makan (megibung) sebagai tanda terimakasi atas kedatangan dan bantun dalam acara tersebut. Dalam Megibung biasanya terdiri dari lima hingga tujuh orang, yang dilakukan dengan duduk bersama membentuk lingkaran

tradisi Ngusaba Bukakak

TRADISI NGUSABA BUKAKAK
(Bersyukur pada Pertanian)
 
TRADISI Ngusaba Desa atau Bukakak merupakan kegiatan turun- temurun yang dilakukan krama subak Desa Giri Emas. Tradisi itu merupakan wujud rasa syukur warga terhadap pertanian. Penglingsir Desa Giri Emas yang juga mantan Klian Desa Jro Mangku Subrata mengatakan tradisi ini sudah berlangsung sangat lama. Biasanya dilakukan satu tahun sekali. Namun karena berbagai pertimbangan, termasuk keadaan ekonomi, tradisi ini dilakukan setiap dua tahun, bergantian dengan kegiatan pembangunan. Karena pelaksanaan tradisi ini menelan biaya cukup besar.
Ada sejumlah rangkaian kegiatan Ngusaba Desa yang dilakukan yaitu Melis, Ngusaba Uma di Pura Empelan, Panti dan Gaduh, Ngusaba Dalem dan Ngusaba Segara. Kegiatan besarnya adalah Mlayagin atau Bukakak yang diadakan selama satu hari, dipusatkan di Pura Subak.
Bukakak adalah sarana bambu dihias ambu (daun pohon enau muda) dan dihias dengan bunga pucuk (kembang sepatu). Sebagai perlengkapan upacara, warga juga menggunakan babi hitam yang lebeng asibak. Sebelum diguling, babi itu dikarantina dan disucikan. "Sesuai kepercayaan, bukakak itu harus dibuat oleh krama dadia Pasek Bedulu dan dibiayai semua krama subak," ucap Jro Mangku Subrata
Pelaksanaan acaranya, pagi hari dangsil dipasang di Pura Pasek. Selanjutnya dilakukan arak-arakan bukakak diiringi gong Tiknong dan baleganjur.
Selanjutnya sarana bukakak itu diusung ke sejumlah tempat sesuai "keinginan" Ida Batara Pura Gunung Sekar yang sangat dijunjung warga Desa Giri Emas. Sebelum berangkat, menurut kepercayaan, krama harus menyucikan diri di Pura Pancoran Emas.
Selama ini sejumlah tempat telah "didatangi" dalam arak-arakan Bukakak itu seperti misalnya Pura Bale Agung Singaraja, Pura Beten Bekul Kerobokan, Pura Lang Buana, Pura Desa Sangsit, Pura Satria Bungkulan dan lainnya.

tradisi gebug ende

TRADISI GEBUG ENDE

Musim kemarau kala itu di desa Seraya Karangasem belum berahir.Hujan yang dinanti-nanti berlum juga menunjukkan tanda-tanda akan turun.Bagi masyarakat di desa Seraya kondisi ini sangat tidak menguntungkan.Mereka juga ingin merasakan tanah mereka diguyur hujan meski berada pada daerah kering.Terutama bagi mereka yang berprofesi sebagai petani.Tentunya masyarakat di daerah tersebut tidak akan tenang dan bissa diam dengan keadaan seperti itu.

Ahirnya mereka melakukan suatu rapat untuk menjalankan suatu tradisi yang sangat sakral yang mungkin dapat mengatasi masalah kemarau yang berkepanjangan.Dari hasil paruman desa,tercetuslah ide untuk melaksanakan ritual yang bernama “GEBUG ENDE”.

Gebug Ende adalah salah satu tradisi yang unik dan diyakini oleh masyarakat sekitar dapat membantu masalah mereka mengatasi masalah kemarau yang berkepanjangan,tentunya tradisi ini sudah berjalan lama secara turun temurun dan menjadi kepercayaan masyarakat setempat.





Pengertian Gebug Ende :

Istilah Gebug Ende dikenal juga dengan nama Gebug Seraya.Gebug Ende berasal dari kata Gebug dan Ende,Gebug berarti memukul  dan Ende berarti alat yang digunakan untuk menangkis (tameng).Alat yang digunakan untuk memukul adalah rotan dengan panjang sekitar  1,5 centi meter hingga 2 meter.Sedangkat alat untuk menangkisnya terbuat dari kulit sapi yang dikeringkan dan dianyam berbentuk lingkaran. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Tari Gebug Ende merupakan salah satu tarian/permainan yang menjadi tradisi masyarakat Seraya yang dimainkan oleh dua orang lelaki baik dewasa maupun anak-anak yang sama-sama membawa ende dan penyalin,dimana pemainnya saling memukul dan menyerang.Tehnik yang dibutuhkan adalah memukul dan menangkis.

Senin, 21 Januari 2013

tradisi mepantigan

TRADISI Mepantigan

Terinspirasi oleh pelukis Walter Spies yang pada tahun 1930-an dengan seniman tari Bali Wayan Limbak menggagas tarian Kecak, I Putu Winset Widjaya, seorang seniman beladiri menciptakan seni beladiri baru yang mengambil gerakan pencak kuno Bali sebagai dasarnya. Pencak tradisional Bali seperti itu Sitembak, 7 harian, dan Depok yang biasa juga disebut sebagai Tengklung dipadukanlah dengan drama, tari Bali dan jurus-jurus beladiri seperti Tae Kwon Do, Capioera dan lain-lain.

Jadilah sebuah aliran bela diri baru yang diberi nama dalam bahasa Bali sebagai Mepantigan, yang artinya saling membanting.

Dua orang petarung turun ke kubangan lumpur dipimpin seorang wasit. Di pinggir lapangan lumpur duduk beberapa juri. Satu pertandingan berlangsung dua ronde, setiap ronde tiga menit. Pengatur waktunya terbuat dari bambu berisi air yang memancur hasil rancangan Witsen. Air di bambu habis, habis pula waktu satu ronde.Meski belum banyak dikenal, sejatinya mepantigan sudah diikutsertakan dalam kejuaraan dunia. Itu dilakukan pada Agustus lalu dengan diikuti enam negara asing: Denmark, Jepang, Korea, Inggris, Swedia, dan Belanda.

Yang membedakan Mepantigan ini dengan pencak yang ada di Indonesia adalah lebih banyak mengutamakan kuncian dan bantingan. Untuk lebih menekankan ciri khas Bali Putu Winset mengembalikan kostum pencaknya ke pakaian asli pencak Bali kuno yaitu hanya mengenakan kain yang diikat sedemikian rupa menjadi seperti celana pendek (kamen kancut/mekancut guladginting) dipadukan dengan ikat kepala khas Bali yang biasa disebut Udeng. Pakaian ini di dapatnya dari literatur yang ada tentang pencak Bali kuno. Para pesilat Mepantigan menggunakan kain dan Udeng jika bertanding atau pertunjukan. Khusus untuk berlatih mereka menggunakan kostum merah putih dan kain batik sebagai penanda bahwa Mepantigan adalah berasal dari Indonesia.Sepanjang pertarungan,baleganyur (gamelan Bali) selalu mengalun. Sebelum dan sesudah pertarungan, mereka menghormat ke patung Dewi Sri, dewi kesuburan.


Putu Winset sendiri sebelumnya menguasai Tae Kwon Do, lalu setelah bergaul dan berlatih tanding dengan pendekar-pendekar tua Bali dia terkagum-kagum dengan daya serangnya yang mematikan. Seperti “total football” dimana setiap pertahanan menjadi sebuah serangan yang membahayakan. Lalu dia mempelajari pencak Bali seperti Sitempak, Depok dan 7 Harian. Dari sanalah ide untuk memadukan pencak bali dengan beladiri lain, itulah Mepantigan.Mepantigan sedikit demi sedikit mulai berkembang di Bali dan diajarkan di beberapa tempat secara masal dan juga perorangan.

Mepantigan banyak diminati oleh murid-murid sekolah international yang nota bene warga Negara asing. Bahkan Mepantigan juga mulai diperkenalkan sebagai seni pertunjukan beladiri di hotel Arma di Ubud. Di hotel itu mereka rutin mempertunjukannya setiap Kamis malam lengkap dengan iringan tetabuhan gamelan. Semoga saja Mepantigan menjadi seperti tari Kecak yang menjadi salah satu ikon Bali dan semakin memperkaya khazanah seni dan budaya Bali.

tradisi tindik telinga

TRADISI Tindik Telinga

Tindik ternyata tidak hanya dikenakan oleh perempuan saja, para pria pun mengenakannya. Tidak hanya di zaman modern ini, namun sejak jaman dahulu kala para pria pun sudah mengenakannya sebagai ritual adat. Oleh karena itu, tak perlu heran lagi bila melihat para pria mengenakan anting atau perhiasan lain yang disematkan pada tubuh mereka.
Seni menindik tubuh ini sebenarnya sudah dikenal sejak berpuluh abad yang lalu, hampir di seluruh dunia. Dalam catatan sejarah, suku-suku primitif melakukan tindik sebagai bagian dari ritual adat dan penunjuk identitas derajat sosial. Para arkeolog bahkan menemukan mumi manusia yang berasal dari 5 ribu tahun yang lalu memiliki tubuh yang ditindik.

Para peneliti juga menemukan tindik tubuh yang berkaitan dengan peradaban kuno, Aztec dan Maya. Ditemukan bahwa suku Aztec menindik lidah mereka sebagai sebuah ritual spiritual yang diyakini dapat mendekatkan mereka kepada Tuhannya. Prajurit suku tersebut pun menindik hidung mereka dengan taring babi hutan sehingga menghasilkan lubang yang besar pada hidung, sebagai tujuan untuk mengintimidasi anggota suku lainnya.

Suku Indian melakukan body piercing dengan cara menggantungkan kait besi di bagian dada mereka. Ritual yang disebut “okipa” ini diperuntukkan bagi pria yang akan diangkat menjadi tentara atau panglima perang. Sementara sebuah suku di Negara India melakukan ritual dengan menusukkan tubuh dengan jarum yang panjangnya hingga mencapai 1 meter untuk menghormati sang dewa. Ritual yang bernama “kavandi” ini biasa digelar pada bulan Februari.

Di Indonesia sendiri, tradisi tindik tubuh biasa dilakukan oleh suku Asmat dan suku Dani di Papua. Pria Asmat menusuk bagian hidung mereka dengan batang kayu atau tulang belikat babi sebagai tanda bahwa mereka telah memasuki tahap kedewasaan.
Suku Dayak di Kalimantan mengenal tradisi penandaan tubuh melalui tindik di daun telinga sejak abad ke-17. Tak sembarangan orang biasa menindik tubuhnya, hanya pemimpin suku atau panglima perang yang mengenakan tindik telinga. Sedangkan untuk kaum perempuan Dayak, mereka mengenakan anting pemberat untuk memperbesar cuping telinganya. Menurut kepercayaan mereka, semakin besar pelebaran lubang daun telinga, semakin cantik dan tinggi pula status sosial masyarakatnya. Model primitif inilah yang kemudian banyak ditiru oleh komunitas piercing di dunia.
Oleh kalangan punk atau gerakan pasca-modern seperti grunge dan alternative, tindik tubuh dapat menjadi simbol pemberontakan atas kemapanan. Masih ada lagi berbagai sejarah lainnya mengenai penindikan tubuh ini dalam berbagai budaya di seluruh dunia.
Tindik tubuh merupakan hiasan yang disematkan pada tubuh manusia, benda yang digunakan biasanya terbuat dari tulang, gigi, atau tanduk binatang. Namun, pada masyarakat modern, piercing lebih banyak menggunakan bahan logam.

Bagian tubuh yang disematkan tindik yang paling banyak dikenal oleh kalangan masyarakat adalah di bagian bawah daun telinga, perhiasan yang disematkan di bagian tubuh tersebut biasa dinamakan dengan anting-anting. Praktik ini umumnya diterapkan oleh banyak budaya, dan perempuan yang mengenakannya secara umum dapat diterima oleh masyarakat. Oleh karena itu, perempuan yang sedang atau sudah beranjak dewasa biasa mengenakan anting untuk mengasosiakan kewanitaannya.
Bagian tubuh lainnya yang juga agak umum adalah pada bagian hidung, dagu, bibir bagian bawah, kening, dan sekitar pusar. Posisi penindikan yang dianggap ekstrim oleh sebagian orang, karena rasa sakit saat pembuatan lubang dan penyembuhan, adalah pada lidah, pipi, bahkan putting susu dan bagian kemaluan. Untuk posisi terakhir ini biasanya dimaksudkan untuk alasan kepuasan seksual.

potong gigi

TRADISI POTONG GIGI

Kehidupan seorang manusia keturunan Bali selalu diiringi upacara adat dan keagamaan dari lahir sampai meninggal. Aneka macam ritual digelar dalam menyeimbangakn hubungan seseorang dengan lingkungan dan Sang Pencipta. Nah, kali ini saya membahas tradisi metatah (sangging), yaitu ritual memotong gigi bagi remaja laki-laki dan perempuan yang menginjak dewasa di Bali.
Praktek sebenarnya bukanlah memotong benda sebagaimana orang memotong pohon bambu. Lebih tepat disebut mengikir atau merapikan barisan gigi yang tidak rata. Gigi yang diratakan adalah 6 gigi atas, termasuk gigi tarik. Proses ini dilakukan oleh seorang yang disebut sangging dan memiliki kekuatan supranatural. Upacara metatah berjalan selama 10 sampai 15 menit dengan penjagaan keluarga yang ketat.
Dalam kepercayaan masyarakat Bali, upacara adat metatah bertujuan membunuh enam musuh dalam diri manusia yang dinggap kurang baik bahkan sering dianggap sebagai musuh dalam diri sendiri. Enam  musuh itu yang disebut dengan Sad Ripu. Meliputi:

  1. Kama (hawa nafsu yang tidak terkendalikan)
  2. Loba (ketamakan, ingin selalu mendapatkan yang lebih)
  3. Krodha (marah yang melampaui batas dan tidak terkendalikan)
  4. Mada (mabuk yang membawa kegelapan pikiran)
  5. Moha (kebingungan dan kurang mampu berkonsentrasi sehingga seseorang tidak dapat menyelesaikan tugas  dengan sempurna)
  6. Matsarya (iri hati atau dengki yang menyebabkan permusuhan)
Upacara metatah membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Hal ini disebabkan banyak perlengkapan sesajen yang diperlukan. Juga kebiasaan mengundang sanak saudara dan keluarga besar untuk hadir layaknya sebuah hajatan pernikahan. Oleh karena itu masyarakat Bali mensiasatinya dengan melakukan metatah secara beramai-ramai atau digabungkan dengan rangkaian upacara adat lainnya.

tradisi potong jari

TRADISI POTONG JARI DI PAPUA


Banyak cara menunjukkan kesedihan dan rasa duka cita ditinggalkan anggota keluarga yang meninggal dunia. Butuh waktu lama untuk mengembalikan kembali perasaan sakit kehilangan. Namun berbeda dengan Suku Dani di Papua, mereka melambangkan kesedihan lantaran kehilangan salah satu anggota keluarga yang meninggal. Tidak hanya dengan menangis, tetapi memotong jari.
Bila ada anggota keluarga atau kerabat dekat yang meninggal dunia seperti suami, istri, ayah, ibu, anak dan adik, Suku Dani diwajibkan memotong jari mereka. Mereka beranggapan bahwa memotong jari adalah symbol dari sakit dan pedihnya seseorang yang kehilangan anggota keluarganya. Pemotongan jari juga dapat diartikan sebagai upaya untuk mencegah ‘terulang kembali’ malapetaka yangg telah merenggut nyawa seseorang di dalam keluarga yg berduka.
Mengapa Harus Memotong Jari?
Bagi Suku Dani, jari bisa diartikan sebagai symbol kerukunan, kebersatuan dan kekuatan dalam diri manusia maupun sebuah keluarga. Walaupun dalam penamaan jari yang ada ditangan manusia hanya menyebutkan satu perwakilan keluarga yaitu Ibu jari. Akan tetapi jika dicermati perbedaan setiap bentuk dan panjang jari memiliki sebuah kesatuan dan kekuatan kebersamaan untuk meringankan semua beban pekerjaan manusia. Jari saling bekerjasama membangun sebuah kekuatan sehingga tangan kita bisa berfungsi dengan sempurna. Kehilangan salah satu ruasnya saja, bisa mengakibatkan tidak maksimalnya tangan kita bekerja. Jadi jika salah satu bagiannya menghilang, maka hilanglah komponen kebersamaan dan berkuranglah kekuatan.
Alasan lainya adalah “Wene opakima dapulik welaikarek mekehasik” atau pedoman dasar hidup bersama dalam satu keluarga, satu marga, satu honai (rumah), satu suku, satu leluhur, satu bahasa, satu sejarah/asal-muasal, dan sebagainya. Kebersamaan sangatlah penting bagi masyarakat pegunungan tengah Papua. Kesedihan mendalam dan luka hati orang yang ditinggal mati anggota keluarga, baru akan sembuh jika luka di jari sudah sembuh dan tidak terasa sakit lagi. Mungkin karena itulah masyarakat pegunungan papua memotong jari saat ada keluarga yang meninggal dunia.
Tradisi Potong Jari di Papua sendiri dilakukan dengan berbagai banyak cara, mulai dari menggunakan benda tajam seperti pisau, kapak atau parang. Ada juga yang melakukannya dengan menggigit ruas jarinya hingga putus, mengikatnya dengan seutas tali sehingga aliran darahnya terhenti dan ruas jari menjadi mati kemudian baru dilakukan pemotongan jari.
Selain tradisi pemotongan jari, di Papua juga ada tradisi yang dilakukan dalam upacara berkabung. Tradisi tersebut adalah tradisi mandi lumpur. Mandi lumpur dilakukan oleh anggota atau kelompok dalam jangka waktu tertentu. Mandi lumpur mempunyai arti bahwa setiap orang yang meninggal dunia telah kembali ke alam. Manusia berawal dari tanah dan kembali ke tanah.
Beberapa sumber ada yang mengatakan Tradisi potong jari pada saat ini sudah hampir ditinggalkan. Jarang orang yang melakukannya belakangan ini karena adanya pengaruh agama yang mulai berkembang di sekitar daerah pegunungan tengah Papua. Namun kita masih bisa menemukan banyak sisa lelaki dan wanita tua dengan jari yang telah terpotong karena tradisi ini.