WAYANG SAPU LEGER
Wayang Sapu Leger adalah salah satu wayang dari tiga macam wayang yang disakralkan di Bali. Tiga wayang dimaksud adalah Wayang Sapu Leger, Wayang Suddhamala dan Wayang Lemah. Ketiga wayang itu mempunyai persamaan fungsi yaitu : “ngruat”. Diantaranya wayang Sapu-Leger lah yang paling angker dan paling berat, baik bagi Ki Dalang maupun bagi yang berkepentingan, sedang fungsinya khusus untuk ngruwat kelahiran (manusa yadnya), yaitu marisuddha (ngruwat) orang yang dilahirkan pada wuku wayang. Wayang Suddhamala dan wayang Lemah itu mempunyai fungsi lebih umum, yaitu manusa yadnya, pitra yadnya, dewa yadnya, buta yadnya dan resi yadnya.
Wayang Sapu Leger adalah salah satu wayang dari tiga macam wayang yang disakralkan di Bali. Tiga wayang dimaksud adalah Wayang Sapu Leger, Wayang Suddhamala dan Wayang Lemah. Ketiga wayang itu mempunyai persamaan fungsi yaitu : “ngruat”. Diantaranya wayang Sapu-Leger lah yang paling angker dan paling berat, baik bagi Ki Dalang maupun bagi yang berkepentingan, sedang fungsinya khusus untuk ngruwat kelahiran (manusa yadnya), yaitu marisuddha (ngruwat) orang yang dilahirkan pada wuku wayang. Wayang Suddhamala dan wayang Lemah itu mempunyai fungsi lebih umum, yaitu manusa yadnya, pitra yadnya, dewa yadnya, buta yadnya dan resi yadnya.
Garis-garis besar wayang Sapu Leger yang terangker itu adalah :
1).
Wayang Sapu-Leger hanya boleh dipergelarkan oleh seorang Dalang yang
telah disucikan dan memahami isi lontar Darma Pewayangan dan Lontar
Sapu-Leger serta paham akan puja mantra sakralisasi diri dan sajen-sajen
dan juga menguasai beberapa Dewastawa yang ada hubungannya dengan
pembuatan air suci (pangruatan). Dalang yang berkeadaan demikian
bergelar Ki Mangku Dalang atau Sang Empu Leger tatkala ia mempergelarkan
wayang Sapu-Leger.
2).
Dengan melalui pergelaran Ki Mangku Dalang mengucapkan puja – mantra
sakralisasi diri, sajen-sajen dan memanjatkan Dewastawanya untuk
mendapatkan restu Dewata, terutama dari Dewa Siwa dalam pembuatan
air-suci (pangruatan) bagi orang yang diupacarai karena lahir pada waktu
wayang, agar ia terhindar dari gangguan (buruan) Dewa Kala. Mengapa
demikian?
Menurut isi lontar Sapu Leger, Dewa Siwa memberi ijin kepada Dewa Kala
(anaknya) untuk memakan orang yang dilahirkan pada wuku wayang. Sedang
Dewa Kala sendiri memberi anugrah kepada Ki Mangku Dalang untuk
mensucikan orang-orang yang dilahirkan pada wuku wayang sehingga mereka
tiada menjadi mangsanya (buruannya) lagi. Berdasarkan isi lontar
tersebut diataslah umat Hindu Dharma pada umumnya, apabila diantara
anak-anaknya ada yang dilahirkan pada wuku wayang, demi keselamatan
anaknya itu, ia berusaha mengupacarainya dengan Wayang Sapu-Leger
walaupun alat-alat perlengkapan yang harus disiapkan jauh lebih banyak
(berat) dari wayang lainnya.
Kapankah dan dimanakah wayang Sapu-Leger itu dipentaskan , dengan lakon apa ?
Apakah alat-alat dan sajen-sajen yang pokok yang perlu disediakan?
Wayang Sapu-Leger dipentaskan pada hari lahir (otonan) anak (orang) yang
diupacarai dengan lakon Dewa Kala memburu mangsanya yaitu seseorang
yang dilahirkan pada wuku wayang, misalnya Sang Sudha, Rare Kumara.
Untuk praktisnya Sapu-Leger dipentaskan dalam pekarangan orang yang
diupacarai. Apabila tempat tidak memungkinkan, pementasan dialihkan
kesuatu tempat dekat jalan simpang empat (catur pata).
Mengenai alat-alat perlengkapan dan sajen-sajen yang pokok adalah sebagai berikut :
-
Gedebong (pohon pisang) tempat memancangkan wayang, harus pisang kayu berikut jantungnya (biu lalung) berbelitkan benang tukelan dan berisi uang 250 kepeng. Demikian pula pada kedua belah ujung perentang kelir (Lelujuh), pada dammar wayang (blencong). Dibelitkan benang tukelan dengan disertai uang masing-masing 250 kepeng.
-
Dihadapan kelir sebelah udik dipancangkan satu sanggar Tutuan (tempat pemujaan Dewa Surya) disertai peji uduh biu lalung, diberi berbelit benang tukelan beserta uang 250 kepeng. Disitulah dipanjatkan seongkok sajen (suci asorong, ajuman putih kuning).
-
Dihadapan kelir disajikan seonggok sesajen antara lain sorohan pabangkit asoroh, nasi merah (penek bang), dengan daging ayam wiring dipotong-potong winangun urip, sampaian andongbang dan beberapa tetebasan, terutama tetebasan sapu-leger, sebuah tumpeng yaitu nasi berbentuk kerucut berpancangkan ranting beringin, berisi ayam panggang, beberapa keeping jajan dan sesisir pisang. Tetebasan Tadah Kala, yaitu sebentuk nasi segi tiga beralaskan daun candung dilampir bawahi sepotong kain poleng dan kepala nasi segi tiga itu dilumiri (dipoles) darah babi, lauk urab merah urab putih. Tetebasan lara melaradan yaitu nasi kuning dalam takir, iwak balung dan telur dadar. Daksina penebus baya yaitu Daksina Gede serba delapan (kelapa 8 butir, telur 8 butir, beras 8 kulak (takar), gula aren 8 biji, sarma 8100 kepeng, setandan pisang, segabung sirih berpancangkan sehelai jamur, tuak, arak dan berem.
3).
Disebelah Ki Mangku Dalang ngewayang, disajikan sesajen wayang yaitu :
suci selengkapnya (asoroh), iwak itik putih, peras ajuman, canang
gantal, lenga-wangi burat-wangi, sarma 1700 kepeng. Sebuah Daksina Gede
serba empat (sarwa patpat) sarma 1132 kepeng. Untuk pembuatan (pemujaan)
air suci disediakan sebuah bejana berisi air bening (payuk anyar berisi
air hening) ditopang dengan wanci, air cendana, samsam bija (beras)
kuning, alat pedupaan dan bunga 11 macam (warna), bunga tunjung putih
sebagai inti (sangat diutamakan). Senyiru segehan Gede lengkap dengan
tetabuhan tuak, arak, berem. Sekian alat perlengkapan dan sajen-sajen
yang pokok untuk upacara Sapu Leger.
Akhirnya setelah pementasan selesai Ki Mangku Dalang memuja pangruatan
(air suci), kemudian menerapkannya (memercikannya) kepada orang yang
diupacarai. Apabila anak (orang) laki-laki yang diruat ia didudukkan
diatas alat perkakas lelaki, misalnya bajak atau alat-alat pertukangan,
kalau wanita ia didudukkan diatas alat-alat perkakas wanita, misalnya
alat tenun.